Selasa, 27 April 2010

persepsi masyarakat tentang gangguan jiwa

PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG GANGGUAN JIWA
Kesehatan adalah sesuatu yang berharga bagi seluruh makhluk hidup di dunia karena tanpa kesehatan, mereka tidak akan dapat menjalani kegiatan hidupnya dengan optimal. Menurut undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 yang dimaksud dengan “kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis”. Atas dasar definisi Kesehatan tersebut di atas, maka manusia selalu dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh (holistik), dari unsur "badan"(organobiologik), "jiwa" (psiko-edukatif) dan “sosial” (sosio-kultural), yang tidak dititik beratkan pada “penyakit” tetapi pada kualitas hidup yang terdiri dan "kesejahteraan" dan “produktivitas sosial ekonomi”. Dalam definisi tersebut juga tersirat bahwa "Kesehatan Jiwa" merupakan bagian yang tidak terpisahkan (integral) dari "Kesehatan" dan unsur utama dalam menunjang terwujudnya kualitas hidup manusia yang utuh. Sedangkan menurut undang-undang No 3 Tahun 1966 yang dimaksud dengan "Kesehatan Jiwa" adalah keadaan jiwa yang sehat menurut ilmu kedokteran sebagai unsur kesehatan, yang dalam penjelasannya disebutkan bahwa "kesehatan jiwa adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain". Makna kesehatan jiwa mempunyai sifat-sifat yang harmonis (serasi) danmemperhatikan semua segi-segi dalam kehidupan manusia dan dalam hubungannya dengan manusia lain. Dengan kata lain kesehatan jiwa adalah bagian integral dari kesehatan dan merupakan kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, mental dan sosial individu secara optimal, dan yang selaras dengan perkembangan orang lain. Terjadinya gangguan atau ketidakseimbangan terhadap kesehatan jiwa sering disebut sebagai gangguan jiwa. Gangguan jiwa atau penyakit jiwa sering diidentikan dengan “gila: oleh masyarakat awam. Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas mengenai persepsi masyarakat awam yang salah mengenai gangguan jiwa yang sering disamakan dengan penyakit gila.

Definisi kesehatan menurut UU Pokok Kesehatan RI (1960) adalah keadaan yang meliputi kesehatan badan, mental, dan sosial dan bukan hanya keadaan bebas dari penyakit, cacat, dan kelemahan. Sedangakan menurut UU No. 23 Thn. 1992, kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi.Kesehatan jiwa adalah suatu keadaan yang memungkinkan untuk terjadinya perkembangan fisik, intelektual, dan emosional individu secara optimal, sejauh perkembangan tersebut sesuai dengan perkembangan optimal individu-individu lain. Seseorang yang sehat mental menurut WHO memiliki ciri-ciri mampu menyesuaikan diri secara konstruktif dengan kenyataan, memperoleh kepuasan dalam usaha atau perjuangan hidup, lebih puas memberi daripada menerima, bebas dari kecemasan atau ketegangan, berhubungan dengan orang lain dengan saling tolong menolong, menerima kekecewaan dan kegagalan sebagai pelajaran, mengarahkan rasa bermusuhan menjadi penyelesaian yang kreatif dan konstruktif, mempunyai rasa kasih sayang yang besar. Seseorang yang mengalami ketidakseimbangan dalam kesehatan jiwanya digolongkan dalam kategori terjadinya gangguan jiwa. Gangguan jiwa adalah suatu keadaan dengan adanya gejala klinis yang bermakna, berupa sindrom pola perilaku dan pola psikologik, yang berkaitan dengan adanya distress (tidak nyaman, tidak tentram, rasa nyeri), disabilitas (tidak mampu mengerjakan pekerjaan sehari-hari), atau meningkatnya resiko kematian, kesakitan, dan disabilitas.

Secara umum, gangguan jiwa dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok besar meliputi:

1. Psikotik – Organik (misal Delirium, Dementia, dll)

2. Psikotik – Organik (misal Delirium, Dementia, dll)

3. Non Psikotik atau neurotic (misal Gg. Cemas, Gg. Somatoform, Gg. Psikoseksual, Gg. Kepribadian, dll)

gangguan jiwa psikotik adalah semua kondisi yang memberi indikasi terdapatnya hendaya berat dalam kemampuan daya nilai realitas, sehingga terjadi salah menilai persepsi dan pikirannya, dan salah dalam menyimpulkan dunia luar, kemudian diikuti dengan adanya waham, halusinasi, atau perilaku yang kacau. Sedangkan, gangguan jiwa neurotik adalah gangguan jiwa non psikotik yang kronis dan rekuren, yang ditandai terutama oleh kecemasan, yang dialami atau dipersepsikan secara langsung, atau diubah melalui mekanisme pertahanan/pembelaan menjadi sebuah gejala, seperti : obsesi, kompulsi, fobia, disfungsi seksual, dll. (Abidin :htpp://abidinblog.blogspot.com).

Berikut merupakan data-data mengenai gangguan kesehatan yang terkait dengan gangguan jiwa yang diperoleh dari berbagai sumber:

1. “Satu dari lima penduduk Indonesia menderita gangguan jiwa dan mental. Artinya 264 per 1000 anggota rumah tangga di Indonesia menderita gagguan jiwa mulai yang ringan hingga yang berat,” kata Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial. Akibatnya pemerintah harus menyediakan obat dan konsultasi bagi penderitanya di Puskesmas. Prevalensi 100 per 1000 anggota rumah tangga adalah prevalensi yang cukup tinggi sehingga merupakan masalah kesehatan yang cukup serius. (Media Indonesia, 5 April 2001)
2. Angka gangguan kesehatan jiwa di Indonesia cukup mengkhawatirkan. Menurut Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial dalam setiap rumah tangga paling tidak ada satu orang yang mengalami gangguan kesehatan jiwa dan membutuhkan pelayanan kesehatan jiwa. Ini berdasarkan hasil Survei Kesehatan Mental Rumah Tangga (SKMRT) yang dilakukan pada penduduk di 11 kotamadya oleh Jaringan Epidemiologi Psikiatri Indonesia tahun 1995 di mana ditemukan 185 per 1000 penduduk rumah tangga dewasa menunjukkan adanya gejala gangguan kesehatan jiwa. (Republika, 5 April 2001)
3. Krisis ekonomi yang tak kunjung usai di Indonesia ternyata meninggalkan kisah sedih, yaitu meningkatnya jumlah penderita gangguan jiwa, terutama jenis anxietas (gangguan kecemasan) dan baru 8% yang mendapatkan pengobatan memadai. Masalah gangguan jiwa ini ternyata terjadi di hampir seluruh negara di dunia. “Saat ini sekitar 400 juta orang, sehingga WHO memandang perlu mengangkat masalah gangguan jiwa sebagai tema peringatan Hari Kesehatan Sedunia kali ini,” kata Menkes dan Kesos. Ada 5 jenis gangguan jiwa yang diangkat sebagai isu global WHO yaitu: skizofrenia, alzheimer, epilepsi, keterbelakangan mental dan ketergantungan alkohol. (Suara Karya, 6 April 2001)
4. Masalah kesehatan jiwa bukan soal sepele, diperkirakan satu dari empat orang Indonesia menderita gangguan jiwa. Itu sebabnya sekarang ada paradigma baru, menggeser pengobatan gangguan jiwa dari basis rumah sakit ke basis komunitas atau basis rawat inap menjadi rawat jalan, demikian diungkapkan Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Prof. Dr. Azrul Azwar, MPH. Dengan pergeseran paradigma dari basis rumah sakit ke basis komunitas, masyarakat diberdayakan untuk ikut mengobati penderita gangguan jiwa. Pelayanan kesehatan jiwa juga bukan hanya berada di rumah-rumah sakit namun disediakan pula di Puskesmas. (Neraca, 10 April 2001)
5. Di Indonesia jumlah penderita penyakit jiwa berat sudah memprihatinkan, yaitu 6 juta orang atau sekitar 2,5 % dari total penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut ternyata hanya 8,3% penderita yang bersedia berobat, sebagian besar lainnya enggan dan sebagian besar lainnya lagi tidak punya biaya. Sayangnya, pemerintah justru seolah tidak menaruh perhatian pada penyakit ini. Pemerintah seolah lepas tangan terhadap para penderita penyakit ini. (Kompas, 19 April 2001)
6. Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial mengakui Depkes dan Kesos masih memfokuskan program pada kesehatan fisik, sedangkan kesehatan jiwa terabaikan. Padahal Indonesia sedang berupaya memperbaiki kondisi sumber daya manusia agar mutunya dapat ditingkatkan. Tenaga kesehatan selama ini lebih memberi perhatian pada persalinan yang aman, pencegahan tetanus, imunisasi, program ibu menyusui, pemberian gizi yang seimbang, dan sebagainya. Dengan program seperti ini diharapkan bayi akan mampu hidup dan sehat, sementara perkembangan psikososialnya bisa terbentuk secara alamiah. (Media Indonesia, 26 April 2001)
7. Jumlah dokter spesialis saraf Jawa Barat masih sangat minim. Saat ini seorang dokter spesialis saraf harus melayani sekitar 1,2 juta orang. Padahal idealnya harus berrasio 1 berbanding 100.000 orang, demikian dikatakan dr. H. Thamrin Sjamsudin SpSK, Ketua Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Saraf, Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. Dikatakan Jawa Barat sekarang hanya memiliki 36 dokter spesialis saraf. Dari jumlah tersebut sekitar 35% berdomisili di Bandung. Jika penduduk Jabar sebanyak 42 juta orang, maka satu dokter spesialis saraf di perkotaan melayani 1,2 juta orang. Sedangkan satu dokter spesialis di kabupaten melayani 3 juta orang. Sementara Indonesia mempunyai target satu dokter spesialis saraf dapat melayani 500 orang. (Pikiran Rakyat, 1 Mei 2001)
8. Penderita gangguan jiwa ditengarai meningkat. Di Rumah Sakit Jiwa Malang jumlah pasien meningkat 6% tiap tahun, dari peringkat kesebelas ke urutan kedua. Angka yang cenderung meninggi ini dipresentasikan dr. Gregorius Pandu Setiawan, Direktur Rumah Sakit Jiwa Lawang dalam Konferensi Nasional Kesehatan Jiwa. Survei tentang penderita gangguan jiwa tercatat 44,6 per 1.000 penduduk di Indonesia menderita gangguan jiwa berat seperti skizofrenia. Angka rasio ini melebihi batas yang ditetapkan WHO, yang cuma 1 – 3 per mil penduduk. Padahal, data tahun 1980-an, penderita skizofrenia di Indonesia hanya 1 – 2 tiap 1.000 penduduk. (Gatra, 5 Mei 2001)
9. Sebanyak 0,1% dari 16 juta jiwa penduduk Jabotabek mengidap penyakit gangguan mental dan geriatrik, sedangkan korban narkoba mencapai 16.000 orang. Hal itu diungkap dr. Yul Iskandar, PhD, salah seorang pengurus Yayasan Dharma Graha yang menangani penanggulangan Gangguan Mental, Geriatrik dan Narkoba. Dalam hal ini dibutuhkan rumah sakit terpadu yang tidak hanya melayani gangguan mental dan geriatrik saja tetapi juga korban narkoba. (Neraca, 2 Juni 2001)

Dalam pandangan masyarakat luas, terkadang gangguan jiwa atau penyakit jiwa sering diidentikan dengan “gila”. Mindset yang keliru turun menurun di masyarakat. Akibatnya masyarakat acapkali memandang sebelah mata para dokter spesialis jiwa karena menurut mereka kaum dokter ini adalah mereka yang dianggap sebagai profesi yang membuang waktu karena menangani orang yang “gila”. Menurut sumber, yang termasuk penyakit jiwa itu sangat banyak, berdasar buku pegangan untuk diagnosa bagi dokter spesialis jiwa Indonesia yaitu Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ), penyakit jiwa dibagi dalam 10 kelompok besar yang masing-masing kelompok terdiri atas begitu banyak jenis gangguan jiwa. Jadi jangan heran jika penyakit seperti berikut termasuk diurusi spesialis jiwa : dementia (pikun patologis),skizofrenia dan variannya (istilah kasarnya = orang gila), depresi, manik, narkoba dan alkoholisme, kecemasan, anorexia nervosa – bulimia, autisme, gangguan kepribadian,penyimpangan seksual dll. Jadi ilmu kejiwaan itu meliputi hal-hal yang umum di masyarakat seperti permasalahan bunuh diri, hobi melakukan tindak kriminal, masalah stress berat karena ditinggal pacar atau karena kematian orang disayang, permasalahan anak yang hiperaktif dan tidak bisa mengikuti pelajaran di sekolah, homoseksual, hobi mengintip pakaian dalam wanita atau menunjukkan aurat di depan umum, kecenderungan wanita yang sering memuntahkan makanan yang dimakannya, cuci otak kaum teroris, kekerasan dalam rumah tangga dan masih banyak lagi. Ilmu kejiwaan mempelajari banyak fenomena sosial dan cara-cara penangannya baik dengan terapi obat-obatan maupun konseling.

Konsep penyebab gangguan jiwa yang popular adalah kombinasi bio-psiko-sosial. Gangguan jiwa disebabkan karena gangguan fungsi komunikasi sel-sel saraf di otak, dapat berupa kekurangan maupun kelebihan neurotransmitter atau substansi tertentu. Pada sebagian kasus gangguan jiwa terdapat kerusakan organik yang nyata padas struktur otak misalnya pada demensia. Jadi tidak benar bila dikatakan semua orang yang menderita gangguan jiwa berarti ada sesuatu yang rusak di otaknya. Pada kebanyakan kasus malah faktor perkembangang psikologis dan social memegang peranan yang lebih krusial. Misalnya mereka yang gemar melakukan tindak criminal dan membunuh ternyata setelah diselidiki disebabkan karena masa perkembangan mereka sejak kecil sudah dihiasi kekerasan dalam rumah tangga yang ditunjukkan oleh bapaknya yang berprofesi dalam militer. Jadi ilmu jiwa justru merupak satu-satunya ilmu yang mengenali penyakit medis secara komplet, yaitu dari segi fisik, pola hidup dan juga riwayat perkembangan psikologis atau kejiawaan seseorang. Oleh karena itu pengobatan ilmu kejiwaan juga bersifat menyeluruh, tidak sekedar obat minum saja, tetapi meliputi terapi psikologis, terapi perilaku dan terapi kognitif/konsep berpikir. Konsep yang perlu kita pahami adalah ada 3 mekanisme pertahanan utama jiwa kita untuk menolak terjadinya gangguan jiwa di tengah terpaan badai kehidupan sebagaimanapun. Ketiga benteng jiwa yang sehat itu adalah personality yang tangguh, persepsi yang positif (positif thinking) dan kemampuan adaptasi. Kepribadian yang tangguh adalah hasil pembelajaran selama proses perkembangan sejak kecil, dan tentunya hal ini didapatkan dengan banyaknya asupan nilai-nilai yang ditanamkan di keluarga dan disekolah serta didapatkan dari banyaknya pengalaman langsung. Nilai-nilai hanya dapat berfungsi jika diterapkan langsung dalam keadaan nyata yaitu dengan banyak bergaul baik dengan lingkungan benar maupun salah. Apabila kita berani SAY YES di lingkungan yang benar dan SAY NO saat di lingkungan salah, lama kelamaan kepribadian kita akan tangguh. Mengurung anak dengan tujuan menghindarinya dari perkenalan dengan narkoba tidak menjamin bahwa kemudian ia tidak terjebak narkoba, yang benar adalah menanamkan nilai-nilai yang tangguh kepada si anak serta membiarkannya mengenal narkoba. Kepribadiannya yang tangguh itu sendiri yang akan membuatnya berani menolak narkoba seumur hidupnya. (TA UGM : http://faperta.ugm.ac.id).

Persepsi juga perlu sebagai benteng kejiwaan. Seseorang yang selalu memandang peristiwa yang menimpanya dengan positif dan memandang hari depannya dengan optimis maka ia memiliki jiwa yang sehat. Persepsi positif diperlukan terutama menghadapi kegagalan-demi kegagalan dalam hidup sehingga tidak membuat diri menjadi frustasi berlebih maupun menyalahi diri sendiri bahkan bunuh diri. Informasi yang tidak kalah penting adalah kemampuan adaptasi karena segala sesuatu dalam hidup ini potensial untuk berubah. Adaptasi akan membuat jiwa kita meliuk-liuk dalam kehidupan seperti air yang mengalir. Dengan demikian kita dapat selalu menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada. (Aklinis : http://www.gizi.net.com).

Solusi mengenai penanganan pasien dengan masalah gangguan jiwa yang kita tahu selama ini adalah dengan melalui tindakan medis ala RSJ. Sebenarnya, tindakan medis ala RSJ kurang begitu memberikan hasil yang optimal untuk menjadi pilihan jalur pengobatan bagi masalah gangguan jiwa, yang terpenting adalah pendekatan dari para tim kesehatan dalam membantu mempebaiki pola kesehatan jiwa dan yang terpenting adalah dorongan dari orang terdekat pasien yang harus senantiasa member dukungan moral dan emosional demi kemajuan kesehatan pasien. Persepsi masyarakat yang salah adalah selama ini apabila mereka menemukan anggota masyarakat yang mengalami gangguan atau masalah kejiwaan maka alternatife yang tepat adalah memasukkan atau menempatkan orang tersebut di Rumah Sakit Jiwa. Menurut penelitian, ternyata keputusan untuk menempatkan pasien tersebut tidak sepenuhnya benar, karena yang dibutuhkan oleh pasien dengan gangguan jiwa adalah motivasi dari orang terdekat untuk dapat menyelesaikan masalah-masalahnya yang membuat Ia merasa tertekan.

Selain itu, baru-baru ini ditemukan sebuah metode terapi penanggulangan gangguan jiwa. Sebuah model terapi alamiah yang mengandalkan pada usaha untuk menggali dan mengembangkan potensi yang dimiliki si penderita. Terapi self healing (penyembuhan diri sendiri) ini menggabungkan antara terapi fisik, mental, sosial dan spiritual sekaligus. Namun metode terapi yang aku rancang ini masih sangat sederhana. , Terapi ini bersifat relative, sama seperti sifat obat medis lainnya, artinya jenis terapi ini belum tentu cocok untuk semua penderita gangguan jiwa dan tidak mungkin bisa menyelesaikan problem-problem kejiwaan semua orang yang sangat kompleks dan beragam, bahkan sangat spesifik, sesuai karakter masing-masing penderita. Jenis terapi gangguan jiwa yang dikenal dengan “Terapi Inner Self” disingkat “TIS” merupakan salah satu jenis terapi pengobatan gangguan jiwa tanpa obat. TIS disebut senbagai terapi tanpa obat dengan alasan pertama, obat-obatan untuk penderita kelainan mental, saat ini masih relatif langka dan tidak mudah diperoleh. Kalaupun ada (yang relatif murah), kualitasnya belum bisa dipertanggung jawabkan. Harganya lumayan mahal untuk ukuran masyarakat kelas bawah. Selain itu, obatnya pun tidak bisa diperoleh sembarangan, harus dengan petunjuk psikolog atau psikiater. Tidak seperti obat penyakit fisik yang bisa diperoleh dengan mudah di mana saja. Obat untuk penyakit fisik, dengan atau tanpa resep dokter bisa dibeli di apotik, toko obat, kios bahkan di warung-warung kaki lima dan warung di pelosok-pelosok perkampungan. Bermacam jenis obat telah tersedia untuk hampir semua jenis dan level penyakit, dari penyakit yang tergolong ringan sampai yang sangat berat. Dengan harga yang relatif murah dan terjangkau oleh semua kalangan, termasuk kalangan masyarakat kurang mampu sekalipun. Kedua, pengalaman beberapa orang teman yang menderita depresi atau manic depressive, yang menjalani terapi dengan menggunakan obat-obatan, selalu ada efek sampingnya. Salah satu diantara efek negatifnya adalah kecanduan. Si penderita sulit melepaskan diri dari pemakaian obat-obatan. Bahkan sebaliknya, dosisnya cenderung semakin tinggi, karena makin lama menggunakan obat, tubuh semakin kebal dan obat tidak mempan lagi. Beberapa penderita memang bisa mengurangi dosis pemakaian obat-obatan secara bertahap, namun prosesnya cukup panjang dan memakan waktu lama. Singkatnya, tidak mudah bagi seorang penderita gangguan jiwa untuk melepaskan diri dari penggunaan obat-obatan. (Tarjum : http://curhatkita.blogspot.com).

Berdasarkan penjelasan mengenai persepsi masyarakat awam mengenai gangguan jiwa, faktor penyebab terjadinya gangguan jiwa dan alternatife solusi untuk membantu menangani pasien dengan masalah gangguan jiwa, maka dapat diperoleh suatu kesimpulan bahwa yang dimaksut dengan gangguan jiwa adalah suatu keadaan dengan adanya gejala klinis yang bermakna, berupa sindrom pola perilaku dan pola psikologik, yang berkaitan dengan adanya distress (tidak nyaman, tidak tentram, rasa nyeri), disabilitas (tidak mampu mengerjakan pekerjaan sehari-hari), atau meningkatnya resiko kematian, kesakitan, dan disabilitas.masyarakat awam cenderung salah mempersepsikan gangguan jiwa sama dengan “gila”, padahal belum tentu orang yangmengalami gangguan jiwa bisa disebut gila. Faktor penyebab terjadinya gangguan jiwa bersifat relative menurut pribadi masing-masing individu, namun secara umum faktor ekonomi, stress pekerjaan, tekanan mental dan tidak mampunya individu tersebut beradaptasi dengan lingkungan baru menjadi faktor umum terjadinya gangguan jiwa. Solusi penanganan gangguan jiwa selain pengobatan medis ala RSJ, juga telah ada bentuk terapi sebagai solusi sederhana penanganan gangguan jiwa tanpa obat. Terapi ini dikenal dengan metode “Terapi Inner Self” disingkat “TIS”.

Daftar Pustaka

Abidin, “Kesehatan dan Gangguan Jiwa”, http://abidinblog.blogspot.com/2008/11/kesehatan-dan-gangguan-jiwa.html, (07 November 2008).

Aklinis, “Gangguan Jiwa Belum Dapat Penanganan Serius” http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1151979419,73027, (04 Juli 2006).

Tim Artikel UGM, “Kesehatan Jiwa”, http://faperta.ugm.ac.id/articles/kesehatan_jiwa.pdf,

(28 Februari 2009).
Tarjum, “Terapi Alamiah Penanggulangan Manic Depressive/Gangguan Bipolar (1)”, http://curhatkita.blogspot.com/2008/12/terapi-alamiah-penanggulangan-manic.html, (03 Desember 2008).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar