Minggu, 21 Maret 2010

KESEHATAN MENTAL HEALTH AS ABOVE NORMAL

KESEHATAN MENTAL II

MENTAL HEALTH AS ABOVE NORMAL

Mental yang sehat sering dibarengi dengan kenormalan, karena seseoang dikatakan mentalnya sehat apabila jiwanya normal. Mental yang sehat saling berhubungan dengan pribadi yang normal, pribadi yang normal saling adekuat (serasi, tepat) dan bisa diterima oleh masyarakat pada umumnya, sikap hidup sesuai dengan norma dan pola hidup kelompok masyarakat, sehingga ada relasi interpersonal dan intersosial yang memuaskan (1). Meskipun mental yang sehat sering dihubungkan dengan pribadi yang normal, dan mental yang tidak sehat dihubungkan dengan pribadi yang tidak sehat, namun pada hakikatnya konsep mengenal mengenai normalitas dan abnormalitas itu sangat samar-samar batasnya. Sebab pola kebiasaan dan sikap hidup yang dirasakan normal oleh suatu kelompok tertentu, bisa dianggap abnormal oleh kelompok lain. Akan tetapi, kita dapat mengatakan sesuatu itu abnomal jika tingkah laku itu mencolok dan sangat berbeda dengan tingkah laku umum. Pada umumnya setiap orang itu senantiasa memiliki mental yang sehat, namun karena suatu sebab ada sebagian orang yang memiliki mental yang tidak sehat. Orang yang tidak sehat mentalnya memiliki tekanan-tekanan batin. Dengan kepribadian seperti itu, kepribadian seseorang menjadi kacau dengan mengganggu ketenangannya. Gejala inilah yang menjadi pusat pengganggu ketenangan hidup. Orang yang bermental sehat akan merasakan suasana batin yang aman, tentram dan sejahtera, yang kesemuanya bertujuan untuk mencari ketenagan hidup (2). Untuk mengetahui secara jelasnya, sebaiknya kita lihat dulu apakah itu mental hygiene dan normal. Mental hygiene adalah mental yang seimbang, nah mental dikatakan seimbang apabila diri tanpa gangguan batin atau jiwa sehingga memiliki tujuan hidup dan dapat mencapai tujuan hidup itu, apabila dua hal ini terwujud maka dinamakan terwujud pulalah pribadi yang harmonis. Normal adalah seimbang, serasi, terpenuhi, yaitu seimbang jasmani dan rohaninya, serasi dengan lingkungannya, dan terpenuhi kebutuhannya.

Orang yang bermental sehat adalah orang yang dapat menguasai segala faktor dalam hidupnya sehingga ia dapat mengatasi kekalutan mental sebagai akibat dari tekanan-tekanan perasaan dan hal-hal yang menimbulkan frustrasi (3). Nah, diatas terlihat keselarasan antara mental hygiene dan normal. Seseorang yang memiliki mental, harus memiliki pribadi yang normal. Namun menurut saya, pribadi yang normal itu belum sepenuhnya bisa dikatakan mental yang sehat, karena normal itu bersifat relatif, namun mental yang sehat harus memiliki pribadi yang normal. Jadi cakupan mental hygiene itu lebih luas dan tinggi daripada pribadi yang normal.

Referensi:

1. Kartini Kartono, 2000, Hygiene Mental, Bandung: Mandar Maju. Hal. 5.

2. Yusak Burhanuddin, 1999, Kesehatan Mental, Bandung: CV Pustaka Setia, hal. 17.

3. Yusnitus Semiun, 2006, Kesehatan Mental 1, Yoyakarta: Kanisius. Hal. 50.

KODE ETIK KONSELING SECARA UMUM

KODE ETIK SECARA UMUM

Kode etik adalah ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh siapa saja yang berkecimbung dalam bidang bimbingan dan konseling demi untuk kebaikan (Bimo Walgito, 2005, 36). Bimo Walgito dalam bukunya Bimbingan dan Konseling, mengemukakan beberapa kode etik dalam bimbingan dan konseling.

1. Pembimbing atau pejabat lain yang memegang jabatan dalam bidang bimbingan dan konseling harus memegang teguh prinsip-prinsip bimbingan konseling.

2. Pembimbing harus berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai hasil yang sebaik-baiknya, dengan membatasi diri pada keahliannya atau kewenangannya. Karena itu pembimbing jangan sampai mencampuri wewenang serta tanggung jawab yang bukan wewenang serta tanggung jawabnya.

3. Oleh karena itu pekerjaan pembimbing berhubungan langsung dengan kehidupan pribadi orang maka seorang pembimbing harus:

a. Dapat memegang atau memegang rahasia klien dengan sebaik-baiknya.

b. Menunjukkan sikap hormat kepada klien.

c. Menghargai sama terhadap bermacam-macam klien. Jadi didalam menghadapi klien pembimbing harus menghadapi klien dalam derajat yang sama.

4. Pembimbing tidak diperkenankan:

a. Menggunakan tenaga pembantu yang tidak ahli atau tidak terlatih.

b. Menggunakan alat-alat yang kurang dapat dipertanggung-jawabkan.

c. Mengambil tindakan-tindakan yang mungkin akan menimbulkan hal-hal yang tidak baik bagi klien.

d. Mengalihkan klien kepada konselor lain tanpa persetujuan klien.

5. Meminta bantuan kepada ahli dalam bidang lain di luar kemampuan atau di luar keahliannya ataupun di luar keahlian stafnya yangdiperlukan dalam bimbingan konseling.

6. Pembimbing haruslah menyadari akan tanggung jawabnya yang berat memerlukan pengabdian sepenuhnya.

Kode etik sangat membantu dalam menghadapi dilema etik dlam konseling, namun masih ada ambiguitas. Disini akan dipaparkan pernyataan soal kerahasiaan yang diambil dari kode etik BAC/BACP dan AACD. Panduan kerahasiaan dari tiga kode etik (John McLEOD, 2008, 435): British Association for Counseling (BAC/1984)

1. Konselor akan memperlakukan informasi pribadi klien dengan penuh kerahasiaan, baik itu yang didapat secara langsung maupun tidak langsung melalui penyimpulan. Termasuk dalam informasi tersebut adalah nama, alamat, detail riwayat hidup, dan deskripsi lain kahidupan dan kondisi klien yang dapat menghasilkan identfikasi klien.

2. Maksud kalimat “memperlakukan dengan penuh kerahasiaan” adalah tidak mengungkapkan informasi yang disebutkan diatas kepada orang lain atau melalui medium publik apapun, kecuali kepada pihak yang mewajibkan konselor memberikan laporan pertanggung-jawaban atas kerjanya (dalam kasus mereka yang bekerja dalam setting agensi atau organisasi) atau kepada mereka yang menjadi tempat konselor menyandarkan dukungan dan pengawasan.

3. Terlepas dari poin diatas, apabila konseling yakin bahwa klien dapat membahayakan orang orang lain, mereka akan memberitahukan kepada klien bahwa mereka dapat membatalkan kerahasiaan tersebut dan mengambil tindakan yang sesuai untuk memperingatkan seseorang atau pihak yang berwenang.

4. Informasi tentang klien tertentu hanya dapat digunakan untuk dipublikasikan dalam jurnal yang tepat atau sesuai dengan izin klien dan dengan tidak menyebutkan nama tertentu.

5. Diskusi konselor berkenaan dengan klien tertentu dengan kolega profesionalnya harus memiliki tujuan dan tidak sekadar berbincang-bincang.

British Association for Counseling and Psychotherapy (BACP/2001)

1. Praktek konseling bergantung pada kepercayaan klien yang didapatkan dan dihargai. Menghargai kepercayaan mensyaratkan:

a. Memperhatian kualitas aktivitas mendengarkan dan penghargaan ditawarkan kepada klien.

b. Cara berkomunikasi dengan sopan yang jelas serta tepat secara kultural.

c. Menghormati privasi dan harga diri.

d. Sangat memperhatikan izin dan kerahasiaan klien.

2. Situasi di mana klien menghadirkan resiko yang membahayakan mereka sendiri atau orang lain merupakan situasi yang sangat menantang bagi praktisi. Terdapat beberapa situasi di mana praktisi harus waspada pada kemungkinan konflik pertanggung-jawaban antara yang berkenaan dengan klien mereka, orang lain yang mungkin akan sangat berpengaruh, dan masyarakat secara umum. Tanggung-jawab memecahkan konflik menuntut perhatian terrhadap konteks dimana pelayanan tersebut diberikan. Dalam setiap kasus, tujuannya harus meyakinkan klien kualitas perhatian yang baik, yang memberikan penghargaan terhadap kemampuan klien menentukan sendiri ketika situasi mengizinkan.

3. Menghargai kerahasiaan klien merupakan pesyaratan mendasar untuk menjaga kepercayaan. Manajemen kerahasiaan profesional memberikan perhatian kepada perlingungan terhadap pengidetifikasian personal dan informasi sensitif dari penyingkapan tanpa izin. Penyingkapan dapat dilakukan dengan izin klien atau hukum. Tiap penyngkapan dilakukan dengan cara yang memberikan perlindungan yang terbaik terhadap kepercayaan klien. Praktisi harus menjadi accountable bagi klien dan profesi mereka berkenaan dengan manajemen kerahasiaan secara umum dan secara khusus bagi tiap penyingkapan yang dilakukan tanpa izin klien.

4. Harus ada izin dari klien apabila mereka akan diamati, direkam, atau apabila penyingkapan pengidentifikasian personal mereka dipergunakan untuk tujuan latihan.

American Association for Counseling and Development (AACD/1988)

1. Anggota menyediakan dukungan untuk mempertahankan kerahasiaan tersebut dalam tempat penyimpanan dan membuang rekaman serta mengikuti kebijakan yang telah ada berkenaan dengan penggunaan rekaman dan pelenyapannya. Karena itu, hubungan konseling dan informasi yang dihasilkannya harus tetap rahasia, konsisten dengan kewajiban anggota sebagai seorang profesional. Dalam situasi konseling kelompok, konselor harus menetapkan norma kerahasiaan yang berkaitan dengan pengungkapan terhadap anggota kelompok tersebut.

2. Apabila seseorang telah menjalin hubungan konseling dengan profesional lain, anggota tidak diperkenankan menjalin hubungan konseling tanpa menghubungan dan menerima persetujuan dari orang tersebut. Apabila anggota asosiasi mendapat klien berada dalam hubungan konseling lain setelah hubungan konseling (dengan dirinya) dimulai, anggota harus mendapat izin dari profesional tersebut atau mengakhiri hubungan konseling, kecuali jika klien memilih untuk mengakhiri hubungan konseling lain tersebut.

3. Ketika klien mengindikasikan dengan jelas bahaya besar terhadap klien atau orang lain, anggota assosiasi harus mengambil tindakan personal yang rasional atau menginformasikan pihak yang berwenang. Konsultasi dengan profesional lain harus dilakukan jika memungkinkan. Asumsi tanggung jawab terhadap prilaku klien hanya dapat diambil setelah pertimbangan yang dalam Klien harus dilibatkan untuk bertanggung jawab secepat mungkin.

4. Rekaman hubugan konseling termasuk catatan wawancara, data tes, korespondensi, rekaman kaset, penyimpangan data elektronik, dan dokumen lain harus dianggap sebagai informasi profesional dengan peruntukan penggunaan dalam konseling, dan mereka tidak dapat dianggap sebagai bagian dari rekaman institusi atau agensi yang mempekerjakan konselor kecuali ditetapkan oleh hukum atau aturan negara. Pengungkapan materi konseling lain hanya diperkenankan berdasarkan pernyataan langsung dari klien.

5. Dari sudut pandang luasnya penyimpangan data dan kapasitas pemrosesan komputer, anggota asosiasi harus meyakinkan bahwa data yang ada dalam komputer:

a. Terbatas pada informasi yang sesuai dan dibutuhkan untuk pelayanan yang diberikan.

b. Dihancurkan apabila informasi tersebut sudah tidak lagi bernilai bagi pelayanan yang diberikan.

c. Terbatas aksesnya kepada anggota staf yang mendukung pelayanan tersebut dengan menggunakan metode keamanan komputer terbaik yang tersedia pada saat itu.

6. Penggunaan data yang bersumber dari hubungan konseling untuk tujuan pendidikan konselor atau riset harus dibatasi pada materi yang dapat disamarkan untuk memastikan perlindungan penuh terhadap identitas klien yang menjadi subjek.

Sebagai rambu-rambu pokok dalam pelaksanaan layanan konseling. Munro, Manthei & Small (alih bahasa oleh Erman Amti, 1979:11) mengemukakan bahwa ada tiga dasar etika konseling yaitu kerahasiaan, keterbukaan dan pengambilan keputusan oleh klien sendiri. Mengenai asas kerahasiaan menekankan bahwa segenap rahasia pribadi klien menjadi tanggung jawab konselor untuk merahasiakannya dari siapapun juga. Keyakinan klien bahwa adanya perlindungan terhadap kerahasiaan diri dan segala hal yang diungkapkan menjadi jaminan untuk suksesnya layanan konseling perorangan. Kesukarelaan klien menjalani proses konseling perorangan merupakan hasil dari terjaminnya kerahasiaan klien. Kesukarelaan klien dalam konseling harus terus dipupuk dan dikuatkan. Pada akhirnya, konselor harus membiarkan klien memutuskan sendiri hal-hal yang menjadi keputusannya. Asas keputusan diambil oleh klien sendiri menunjang kemandirian klien.

RESPON & PROBING

RESPONDING dan PROBING

Responding dan probing sangat dibutuhkan dalam situasi konseling. Yang mana responding adalah bagai mana ada tanggapan dalam suatu persoalan sehingga situasi dalam konseling semakin hidup. Begitu juga probing yaitu bagaimana cara konselor itu menggali segala informasi yang ingin ia dapat untuk membantu klien tersebut.

A. RESPONDING

Cara untuk memeprhatikan proses konseling adalah focus terhadap prilaku konselor, dan bagaimana prilaku tersebut dapat mempengaruhi klien. Jelas apabila dimungkinkan untuk mengindentifikasi tingakan konselor yang dapat dikaitkan secara konsisten kepada hsil yang baik, maka seharusya adalah mungkin untuk melatih dan mengawsi konselor dalam rangka memaksimalkan frekuesi terjadinya respon ini, dan mengurangi interaksi yang sangat tidak menolong.

Clara Hill dan para koleganya telah menyusun daftar panjang respon konselor maupun klien (Jhon McLEOD, 2008, 385) yaitu:

Kategori Respon Verbal Terapis

  1. Persetujuan: respon ini dapatmenimbulkan simpati atau kcenderungan menenangkan dengan cara meminimalisasi masalah klien. Memeberikan dukungan emosional, persetujuan, penegasan, dan pengukuhan.
  2. Informasi: suplay informasi dalam berntuk data, fakta, atau sumber daya. Hal ini bisa jadi terkait dengan proses terapi, perilaku terapis, atau kesepakatan terapi (waktu, honor, tempat).
  3. Bimbingan langsung: ini adalah arahan atau saran yang diberikan terapis keada kllien berkenaan dengan apa yang harus dilakukan baik didalam sesi maupun di luar sesi konseing.
  4. Pertanyaan tertutup: mengumpulkan data atau informasi yang spesifik respon klien akan menjadi terbatas dan spesifik.
  5. Pertanyaan terbuka: pertanyaan untuk mendapatkan klarifikasi atau penjelasan oleh klien.
  6. Parafrasa: mencerminkan atau meringkas apa yang telah dikomunikasikan oleh klien baik secara verbal maupun non verbal. Tidak melampau apa-apa yang diucap klien atau menambahkan perspektif baru atau mengganti pertanyaan klien atau memberi penjelasan apapun untuk prilaku klien.
  7. Interprestasi: melampau apa yang telah dikenal oleh klien secara terbuka dan memberikan alasan, makna alternatif, atau kerangka kerja batu untuk perasaan, perilaku kepribadian
  8. Konfrontasi: menguak diskrepansi atau kontraksi tapi tidak menghadirkan alasan untuk diskrepansi tersebut.
  9. Menbuka Diri: berbagi perasaan atau pengalaman pribadi.

Kategori Respons Verbal Klien

  1. Renspons Sederhana: frasa pendek, terbatas, yang dapat sja mengindikasikan kesepakatan, pengumuman persetujuan apa yang telah diucapkan terapis, mengindikasikan ketidaksetujuan atau ketidak sepakatan atau merespons secara singkat pertanyaan terapis dengan informasi atau fakta tertentu.
  2. Permintaaan: percobaan untuk mendapatkan informasi atau saran atau untuk meletakkan tanggung jawab yang berat sebagai solusi permasalahan dari pihak terapis.
  3. Deskripi: mendiskusikan sejarah, peristiwa atau kecelakaan yang berhubungan dengan problem dengan menggunaka gaya narasi atau bercerita.
  4. Pengalaman: secara efektif mengeksplorasi perasaan, perilaku atau reaksi berkenaan dengan diri atau masalah, tapi tidak mencakup pemahaman kausalitas.
  5. Mengeksplorasi Hubungan Klien-Terapis: mengindikasikan perasaan, reaksi, sikap atau perilaku yang berkaitan dengan terapis atau situasi terapeutik.
  6. Pemahaman: mengindikasikan kemampuan klien untuk memahami atau mamapu meliha tema, pola atau hubungan kausalitas salam perilaku atau kepribadiannya, atau dalam perilaku atau kepribadian orang lain.
  7. Diskusi Rencana: merujuk kepada rencana berorientai aksi, keputusan, target masa depan dan perkiraan hasil dari rencana tersebut.
  8. Diam: diam sekitar empat atau lima detik antara pernyataan terapis dan pernyataan klien , atau segera setelah respons sederhana klien.
  9. Yang Lain: pernyataan yang tak berkaitan dengan masalah klien seperti percakapan singkat atau komentar berkenaan dengan cuaca atau peristiwa.

Kategori Respon Minimal

Tugas utama konselor adalah sebagai pendengar (yang aktif) sehingga klien harus merasakan bahwa anda memberikan perhatian penuh pada kehadirannya. Salah satu cara terbaik untuk itu adalah dengan memberikan respon minimal. Yang dimaksud dengan respon minimal adalah: sesuatu yang kita lakukan secara otomatis dalam percakapan ketika kita mendominasi pembicaraan sebagai pendengar daripada berbicara. Respon minimal ini bisa berbentuk nonverbal seperti mengangguk atau secara verbal dengan mengatakan, "Uhm..", "Iya", "Baik" dsb. Ketika klien berbicara terus-menerus, konselor perlu meyakinkan klien bahwa ia masih mendengarkan dengan respon minimal tsb. Sebagai konselor, berikan waktu untuk merespon klien anda bicara, sehingga respon minimal ini tidak dilakukan secara terus menerus dan berlebihan. Sesuaikan juga nada bicara anda dengan klien sehingga cukup nyaman didengar, tidak terlalu pelan, tidak terlalu lambat, tidak cepat-cepat atau terlalu keras. Menggunakan respon minimal ini juga bukan hanya untuk menunjukkan anda mendengarkan, tetapi memberikan ekspresi nonverbal dan bahasa tubuh anda bahwa anda memahami persoalan/kesulitan klien.

B. PROBING

Probing yaitu menggali informasi tentang klien, konselor mesti mempunyai teknik tertentu, misalnya jika klien menggungkapkan masalahnya, konselor memanfaatkan apa yang dikata klien menjadi pertanyaan, guna menggali informasi. Misalnya, saya tidak pandai belajar matematika, konselor memanfaantkan kata-kata itu dengan bertanya, apa sebabnya anda tidak pandai berlajar matematika? Nah klien akan menceritakan apa sebabnya, dengan kata lain konselor telah menggali informasi yang ingin didapatkan.

Informasi tentang klien tidak hanya diperoleh pada diri klien sendiri, namun bisa juga pada keluaganya, lingkungan sosial tempat dia tinggal dan sebagainya.yang kesemuanya dipergunakan untuk memperlancar dan mempercepat proses konseling tersebut.

Oleh karena itu penting bagi kita untuk mengetahui berbagai metode yang dapat dipergunakan untuk memperoleh data didalam merealisasi bimbingan dan konseling. (Bimo Walgito, 2005, 63). Diantara metode itu yaitu:

1. wawancara, yaitu salah satu metode untuk menggali data dari klien dengan cara memeberikan pertanyaan secara langsung kepada klien.

2. kuesioner, yaitu hampir sama dengan wawancara, namun dalam kuesioner dengan cara memberikan pertanyaan secara tidak secara langsung, seperti dengan menggunakan daftar pentanyaan di kertas yang diperlukan jawaban oleh responden, hal yang seperti ini dikatakan angket.

3. observasi, yaitu metode menggali data dengan melihat secara langsung peristiwa dan kesehatian ke tempat klien.

4. sosiometri, yaitu metode mencari data dengan melihat dilingkungan sosialnya. Metode Sosiometri harus digunakan dalam lingkungan sosial klien, karena kita mencari bagaimana klien dalam lingkungannya.

Probing (menggali lewat pertanyaan). Dengan Pendapat Lain.

Sangat menggoda bagi seorang konselor untuk bertanya banyak pada kliennya, terutama di pertemuan awal konseling. Jika anda bertanya terlalu banyak pada klien, mungkin anda perlu tanya kembali tujuan anda melakukan konseling ini. Jika tujuannya adalah untuk menstimulasi klien bicara, nampaknya anda menggunakan pendekatan yang salah. Klien dapat lebih percaya diri untuk bicara, jika sudah terbangun rasa saling percaya, bukan dengan banyaknya pertanyaan oleh konselornya. Seorang konselor yang bertanya terlalu banyak akan seperti interogasi atau wawancara jurnalistik. Ketika bertanya pun, jenis pertanyaan terbuka lebih dianjurkan daripada jenis pertanyaan tertutup yang hanya perlu dijawab oleh klien dengan singkat, seperti "ya" atau "tidak". Pertanyaan terbuka akan membiarkan klien bercerita tentang pengalaman, kesakitan serta hal-hal yang ingin dibagi pada konselornya dengan bebas.

Usahakan untuk menghindari pertanyaan yang diawali de-ngan "mengapa". Mengapa? Klien akan berusaha menjawab pertanyaan dengan menggunakan rasio semata, padahal sangat mungkin justru itu saat bagi konselor untuk menggali aspek-aspek emosional yang lebih mendasar dari situasi klien daripada aspek rasionalnya.

Contoh probing:

Pertanyaan tertutup:

Apakah anda suka dipuji oleh suami anda?

Pertanyaan terbuka:

Bagaimana perasaan anda etika dipuji oleh suami anda?